Search This Blog

Saturday, September 8, 2018

Kelahiran Hanifah

Hanifah Aisha Azzakira, putri kedua mama dan papa. Lahir pada hari sabtu, 12 Mei 2018. Sebenarnya mama berharap Hani lahir pada tanggal 10. Biar kebalikan Hana, 5-10 dan 10-5 (juga tanggal lahir bunda Tika, adik papa).

Tapi Allah berkehendak lain. Setelah melewati 1 hari yang melelahkan menunggu kontraksi demi kontraksi, akhirnya Hani lahir ke dunia.

Berbeda dengan Hana di mana mama melalui bukaan lengkap secara singkat, pembukaan lengkap pada proses kelahiran Hani rasanya sangat lama. Hampir 7 jam mama menanti dari bukaan 4 ke bukaan 10. Satu hal yang sama dari proses kelahiran kalian berdua; sama-sama menunggu sehari penuh. Tapi kondisinya jauh berbeda.

Mama dan papa memilih RS Budiasih Serang sebagai tempat kelahiran Hani. Tidak jadi di Bandung karena berbagai faktor A B C D. Sebagai gantinya, jiddah bolak balik Bandung Serang setiap minggu dari seminggu sebelum Hani lahir sampai dengan lebaran. Terus-terusan mengawasi kondisi mama. Jiddah juga mengutus atuk untuk standby di Serang.

Hari kamis jam 10 malam mama membisiki papa, "kayaknya Elsa mau lahiran, udah ada tanda-tanda kontraksi". Malam itu pula mama mulai gabisa tidur. Sebentar-sebentar gelisah. Sampai akhirnya di pukul 5 pagi mama mulai mencatat jeda waktu kontraksi. Ah, sekitar 5 menit. Mungkin sudah waktunya ke RS. Berangkatlah mama dan papa ke RS Budiasih. Hana kami titipkan pada atuk jiddah karna masih tertidur pulas.

Herannya sampai di RS pukul 7 pagi, jeda kontraksi semakin lama dan tidak sekuat sebelumnya. Mama pun diminta menunggu dokter datang untuk melakukan observasi.
Pukul 9.30 dokter Sari datang dan memeriksa. Dari hasil USG terlihat Hani masih tenang dalam perut mama, dengan posisi cendrung di depan. Bukan ke arah bawah. "Bayinya masih di depan bu. Ini namanya hamil gantung. Kontraksinya masih jarang-jarang ya. Nanti jam 1 kita lihat lagi. Kalau kontraksinya belum nambah ibu pulang dulu ya, gak usah nginap. Ini air ketubannya bagus, gak perlu di induksi. Kita tunggu aja kontraksinya",  begitu kira-kira kata dokter.

Menunggu jam 1, mama menguatkan diri untuk berjalan mondar-mandir di depan ruang bersalin. Karna papa harus solat jum'at, mama minta izin bidan untuk menunggu di dalam. Mama diperbolehkan menunggu di ruang observasi. Di sana mama hanya duduk dan berjalan mondar-mandir sebentar, duduk lagi, jalan lagi, begitu seterusnya sampai papa datang membawakan makan siang.

Observasi baru dilakukan jam 2 siang. Sekali lagi, dilakukan perekaman kontraksi dengan EKG. Ternyata jedanya masih sama, 10 menit. Bedanya, kontraksi kali ini lebih kuat. Tampak pada garis naik turun yang semakin beragam intervalya. Dari hasil perekaman, dokter Sari meminta mama dan papa untuk tetap di RS.

Sore hari, mama mulai berkeringat sebesar bulir-bulir jagung. Sampai seorang bidan yang mencemaskan kondisi mama berkata "Istirahat aja bu, di dalam. Bentar lagi ya kayaknya". Dan ternyata, masih lama...
Kali ini mama lebih banyak duduk dan mengatur napas. Sesekali mama mencoba tidur dengan posisi miring ke kiri. Kalau terasa sakit, mama berbalik ke posisi telentang. Tidak ada yang memberi saran pada mama untuk terus berjalan atau mencoba posisi-posisi lain yang memudahkan. Tidak ada pula yang mengajak mama dengan setengah memaksa seperti yang dulu dilakukan jiddah. Papa cendrung diam sambil mengawasi mama. Sekali terdengar celetuknya, "wah lama ya. Tau gini uda masuk aja setengah hari". Mama hanya membalas dengan tatapan tak suka.

Pukul 7, kontraksinya mulai terasa sangat sakit. Mama pun hanya duduk atau berbaring di atas ranjang. Sudah tak ada kemauan lagi untuk jalan mondar-mandir. Mama meminta dilakukan pengecekan dalam. Ternyata masih bukaan 4 menuju 5.
Saat itu jiddah dan atuk masuk ke ruangan untuk menanyakan kondisi mama. Dari luar terdengar tangisan Hana. Mama pun sangat ingin keluar ruangan menemui Hana. Tapi karna takut tidak bisa lama menemani, mama urungkan niatan tersebut. Tanpa diminta ternyata Hana digendong atuk masuk ke ruang observasi. 

"Tu Hana mamanya sakit, ditusuk tangannya.".
"Hanaa, jangan nangis", ucap mama lirih sambil tersenyum. Hana kemudian dibawa keluar ruangan. Mama yang saat itu khawatir karna Hana pertama kalinya akan tidur tanpa mama papa, hanya pasrah dan memandangi punggung Hana.

Pukul 9, mama benar-benar tidak kuat menahan kontraksi. Sesekali mama menjerit tertahan. Mama menanyakan pada bidan apakah boleh mengejan. Bidan menggeleng dan memberitahu mama, "ini baru bukaan 7 bu. Jangan ngeden soalnya ibu jeda kontraksinya lama. Kalo ngeden nanti malah bengkak, dedeknya gabisa keluar. Soalnya jalan keluarnya juga tebel bu ini. Coba tidur miring kiri aja biar dedeknya gampang keluarnya".

Jeda kontraksi saat itu tetap 10 menit sekali. Tapi kekuatannya sama sekali tidak bersahabat. Ditambah Hani cendrung diam di dalam perut, jadi kemajuan kontraksi sangat lambat. Setiap terasa sakit mama mencengkram lengan papa kuat-kuat. Juga menepis tangan papa yang mengusap punggung mama.

Pukul 12 mama mulai menjerit tertahan. Rasanya sungguh tidak kuat lagi. Mama sibuk memanggil suster. "Tolong suus", rintih mama meminta izin untuk ngeden. Suster kembali mengecek bukaan. Dan saat itu sudah bukaan 8. Tapi berhubung jeda kontraksi yg lama, mama tidak diperbolehkan sembarangan ngeden. "Miring kiri aja bu. Biar dedeknya cepet keluar".

Mama pun tidur dengan posisi miring kiri. Dibantu salah seorang bidan yang menyangga separuh badan mama. Sakitnya masyaAllah, luar biasa. Berkali kali mama menjerit. Bidan mengarahkan mama untuk selalu mengatur napas. Tak lupa, ia memasang selang oksigen untuk membantu pernapasan. "Atur napas bu. Jangan jerit-jerit. Hirup dalam dalam. Ayo bu, tahan. Keluarkan pelan-pelan. Hirup dalam, tahan, buang. Terus begitu ya bu", intruksinya.

Papa mengenggam tangan mama. Sambil berusaha mengatur napas, mama membalas genggaman papa dengan cengkraman kuat. Sakit, rasanya tak tertahan. Berkali kali terasa rasanya gak tahan untuk ngeden. Saat itu bidan membolehkan, mungkin karna posisi badan mama yang miring. "Udah mau keluar sus. Pengen ngeden banget. Boleh ga?", tanya mama beberapa kali di sela-sela rasa sakit.

"Belum bu, baru bukaan 9"
SubhanAllah, udah bukaan 9 belum boleh ngeden juga. Di situ mama berusaha menawar bidan untuk tetap ngeden karna gak tahan. Dan tentunya berakibat kembali keluarnya ambeien mama, meskipun tidak sebesar saat kelahiran Hana dulu.

Sang bidan tetap dalam posisi memegangi badan mama. Beberapa jam yang lalu, rekannya menghubungi dokter Sari dan memberi kabar tentang kondisi mama. Berhubung kemajuan bukaan sangat lambat, dokter seperti menunda kedatangannya. Beliau datang kira-kira pukul 01.20.

Bertepatan dengan kedatangan dokter, mama diminta kembali di posisi telentang. Saat itu pula Hani lahir dan selanjutnya dokter membantu proses pengeluaran ari-ari.


Hani didampingi papa dibawa entah ke mana oleh bidan. Mama belum sempat menyentuh Hani. Badan mama terasa sangat lelah, dan kantuk mulai menyerang.
Saat itu bidan membawa Hani kembali bermaksud melakukan IMD. Melihat kondisi mama, dokter menanyakan, "ibu sesak ya dedeknya ditaruh di sana?". Saat itu Hani berada di atas dada mama.

Menjawab pertanyaan dokter, mama mengangguk perlahan. Hal yang kemudian mama sesali. Karna setelah itu, dokter memberi intruksi pada bidan, "angkat dulu aja bayinya. Besok pagi disusui". Kepada Hani, mama tidak berkesempatan untuk melakukan IMD..

No comments:

Post a Comment